Materi Fiqih Kelas XII bab I
KHILAFAH
Pengertian Khilafah
Khilafah berasal dari bahasa arab khalafa, yakhlifu,
khilafatan yang artinya menggantikan. Dalam konteks sejarah Islam, khilafah
adalah proses menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW, dalam menjaga dan
memelihara agama serta mengatur urusan dunia. Pada masa sekarang istilah
khilafah sama artinya dengan suksesi yang juga berarti proses pergantian kepemimpinan.
Sedangkan menurut istilah khilafah berarti pemerintahan yang
diatur berdasarkan syariat Islam. Khilafah bersifat umum, meliputi kepemimpinan
yang mengurusi bidang keagamaan dan kenegaraan sebagai pengganti Rasulullah.
Khilafah disebut juga dengan Imamah atau Imarah. Pemegang kekuasaan khilafah
disebut Khalifah, pemegang kekuasaan Imamah disebut Imam, dan pemegang
kekuasaan Imarah disebut Amir.
Kalau dibahas lebih lanjut tentang istilah Khilafah, Imamah,
dan Imarah terdapat berbagai versi dan sudut pandang. Istilah khilafah yang
semula muncul pertama kali pada masa Abu Bakar sebetulnya lebih karena posisi
beliau yang merupakan pengganti (khalifah) Rasulullah shingga masyarakat
menyebutnya dengan panggilan “khalifah al-Rasul” yang berfungsi melanjutkan
tugas Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik dan keagamaan,
bukan sebagai Rasul. Pada masa Umar bin Khatab, gelar Khalifah malah digantinya
denga Amir (Amir
al-Mu’minin). Sedangkan pada
masa pemerintahan Abbasiyah, gelar Khalifah tidak sekedar
bermakna pengganti Rasul tetapi pengganti Allah di muka bumi
(Khalifatullah fil ardh). Adalah Al-Manshur, khalifah Abbasiyah ke 2, yang mula-mula
menyebut diri sebagai khalifatullah fil ardh ini. Sedangkan gelar Amir pada
masa itu digunakan untuk jabatan seorang kepala daerah atau gubernur. Adapun
gelar Imam dalam system imamah lebih sering digunakan oleh kaum Syi’ah untuk
menyebut jabatan seorang kepala negara. Sama artinya dengan gelar Khalifah yang
sering digunakan oleh kaum Sunni. Perbedaannya, bagi kaum Syi’ah gelar Imam dan
Imamah itu temasuk dalam prinsip ajaran agama. Seorang imam dipandang sebagai
orang yang ma’sum (terjaga dari dosa).
Bagi kaum Sunni, seperti pendapat al-Mawardi dan Abdul Qadir
Audah bahwa khilafah dan imamah secara umum memiliki arti yang sama yaitu
system kepemimpinan Islam untuk menggantikan tugas-tugas Rasulullah SAW dalam
menjaga agama serta mengatur urusan duniawi umat Islam. Allah berfirman dalam
QS. An Nur: 55 :
وَعَدَ اللَّـهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا۟
مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ
الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِى ارْتَضَىٰ لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ
بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَأُو۟لٰٓئِكَ هُمُ الْفٰسِقُونَ ﴿النور:٥٥
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik. (An-Nur : 55)
Sejarah timbulnya istilah khilafah bermula sejak terpilihnya
Abu Bakar as-Shidiq (573-634 M) sebagai pemimpin umat Islam yang menggantikan
Nabi SAW setelah beliau wafat. Kemudian berturut-turut terpilih Umar bin
khatab(581-644 M), Usman bin Affan (576-656 M) dan Ali bin Abi Thalib (603-661M).
Selanjutnya bersambung pada generasi Dinasti Umayyahdi
Damascus(41-133H/661- 750 M):14 khalifah, Dinasti Abbasiyah di Baqdad
(132-656H/750-1258 M): 37 khalifah, Dinasti Umayyah di Spanyol
(139-423H/756-1031 M):18 khalifah, Dinasti Fatimiyah di Mesir(297-567H/909-1171
M):14 khalifah, Dinasti Turki Usmani (kerajaan Ottoman) di Istanbul(1300-1922
M):39 khalifah, Kerajaan Safawi di Persia(1501-1786 M):18 syah/ raja, Kerajaan
Mogul di India (1526-1858 M):15 raja dan Dinasti-dinasti kecil lainnya.
Dinasti-dinasti di atas memakai gelar khalifah. Tetapi
berbeda pelaksanaannya dengan khulafa ar-rasyidin. Jika khulafa ar-rasyidin
dipilih secara musyawarah, maka dinasti-dinasti tersebut menerapkan tradisi
pengangkatan raja secara turun temurun.
Sistem pemerintahan khilafah berakhir di Turki sejak Mustafa
Kemal Ataturk (1881- 1938 M). Beliau menghapus sistem pemerintahan ini pada
tanggal 3 maret 1924. Umat Islam pernah berusaha menghidupkan kembali khilafah
melalui muktamar khilafah di Cairo (1926 M) dan Kongres Khilafah di Mekkah
(1928 M). Di India pun pernah timbul gerakan khilafah. Oganisasi-organisasi
Islam di Indonesia pun pernah membentuk komite khilafah (1926 M) yang berpusat
di Surabaya untuk tujuan yang sama.
Namun perjuangan umat Islam Indonesia tidak hanya melalui
upaya mewujudkan khilafah secara legal formal. Melainkan ada hal yang lebih
penting yaitu upaya menegakkan nilai-nilai luhur Islam di tengah-tengah
kemajemukan masyarakat Indonesia. Peristiwa penghapusan tujuh kata yang
berbunyi …dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang semula tercantum pada pada
alinea keempat Piagam Jakarta ( kelak
menjadi Mukaddimah UUD 1945) pada tanggal
18 Agustus 1945 bukanlah kekalahan umat Islam untuk menegakkan Khilafah.
Tetapi itu justru menunjukkan kualitas
sikap para pemimpin Islam seperti KH. Wahid Hasyim yang mampu mengutamakan
kepentingan umum seluruh bangsa Indonesia daripada kelompok agamanya sendiri.
Apalagi secara substantif, isi pembukaan UUD 1945 itu tidak berbeda dengan
ketika masih bernama Piagam Jakarta. Pembukaan UUD 1945 sangat terbuka untuk
dimaknai sesuai keyakinan kita sebagai umat Islam. Karena naskah ini memang
lahir dari pemikiran para tokoh Muslim di samping tokoh-tokoh lainnya.
TUJUAN KHILAFAH
Secara umum Khilafah mempunyai tujuan untuk memelihara agama
Islam dan mengatur terselenggaranya urusan umat manusia agar tercapai kesejahteraan
dunia dan akhirat sesuai dengan ajaran Allah SWT. Adapun tujuan khilafah
secara spesifik adalah:
1.
Melanjutkan kepemimpinan agama Islam setelah
wafatnya Rasulullah SAW.
2.
Untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin
dengan aparat yang bersih dan berwibawa
3.
Untuk menjaga stabilitas negara dan
kehormatan agama.
4.
Untuk membentuk suatu masyarakat yang makmur,
sejahtera dan berkeadilan, serta mendapat ampunan dari Allah SWT.
Khilafah sebagai salah satu cara untuk menata kehidupan di
dunia, tidak bisa dilepaskan dengan peran Islam sebagai agama rahmatan
lil-alamin yang memiliki misi besar untuk mengarahkan semua sisi kehidupan
dengan berbagaipanduan yang sangat detil dan konprehensif. Bahkan konsep tauhid
yang tampak sebagai urusan akidah, sebetulnya juga tidak bisa dilepaskan dengan
politik. Konsep tauhid yang mengajarkan umat Islam untuk tunduk dan patuh hanya
kepada Allah, sesungguhnya sekaligus mengajarkan tentang kesetaraan manusia.
Dengan demikian Islam menolak
secara tegas adanya perbudakan
sesama manusia dengan berbagai macamnya. Oleh karena itu Rasulullah selalu
mengakhiri setiap surat yang dikirim kepada Ahli Kitab ayat mulia dari surah Ali-Imran : 64 sebagai
berikut :
قُلْ يٰٓأَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا۟
إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّـهَ
وَلَا نُشْرِكَ بِهِۦ شَيْـًٔا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن
دُونِ اللَّـهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ اشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ :٦٤
“Katakanlah: «Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
tuhan selain Allah». Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:
«Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah).» (QS.
Ali-Imran:64)
DASAR-DASAR KHILAFAH
Menurut Sulaiman Rasjid, apabila diperhatikan dengan
seksama, dapat diketahui dengan jelas bahwa khilafah atau pemerintahan yang
dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
•
Kejujuran,
keikhlasan, dan tanggung jawab.
Pemerintahan harus dijalankan
dengan tulus demi tanggung jawab mengemban amanat rakyat dengan tidak
membeda-bedakan bangsa dan warna kulit. Hal ini dapat dilakukan karena seorang
pemimpin berpedoman pada firman Allah yang di antaranya terdapat dalam surah
Al-Hujurat, 13 yang artinya :
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat : 13)
•
Keadilan.
Firman Allah dalam surah An-Nahl,
90 :
Hendaknya keadilan ditegakkan
terhadap seluruh rakyat dalam segala urusannya.
“Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An-Nahl:90)
•
Tauhid
(mengesakan Allah).
Firman Allah dalam surah
Al-Baqarah, 163 yang artinya :
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS.
Al-Baqarah:163)
Tauhid merupakan sikap tunduk dan
patuh secara total hanya kepada Allah. Tak
ada sesuatupun yang layak dipatuhi
selain Allah. Konsekuensi
dari sikap bertauhid
ini akan membuat tiap-tiap orang, termasuk para pemimpin, merasa merdeka
dan menghargai kemerdekaan orang lain, terhindar dari kesewenang-wenangan, dan
pada akhirnya dapat menciptakan tata kelola pemerintahan yang egaliter serta
terhindar dari otoritarianisme.
•
Kedaulatan
rakyat.
Masalah kedaulatan rakyat ini
dapat dipahami dari perintah Allah yang mewajibkan kita taat kepada ulil amri
(para wakil rakyat atau pemegang pemerintahan). Firman Allah dalam surah An-Nisa, 58-59 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu…” (QS. An-Nisa:59)
Sulaiman Rasjid dengan mengutip
pendapat ahli tafsir Imama Muhammad Fakhruddin Razi mengatakan bahwa yang
dimaksud Ulil Amri pada ayat tersebut adalah para ulama, ilmuwan, dan para
pemimpin yang ditaati rakyat. Mereka inilah representasi dari kedaulatan
rakyat.
Sedangkan untuk mengelola
kedaulatan rakyat adalah melalui usaha menampung berbagai aspirasi mereka untuk
kemudian dimusyawarahkan agar dapat dicapai kata mufakat demi kemaslahatan
bersama. Perintah untuk melakukan musyawarah ini misalnya dapat dilihat
pada QS. Asy-Syura(42): 38 sebagai
berikut :
“…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka….;”
(QS. Asy-Syura:38)
HUKUM MEMBENTUK
KHILAFAH
Berdasarkan pendapat yang diikuti mayoritas umat Islam
(mu’tabar), hukum mendirikan khilafah itu adalah fardu kifayah dengan beberapa
alasan sebagai berikut :
•
Ijma’
sahabat.
Ketika Rasulullah wafat, saat itu
juga terdengar di kalangan para sahabat yang membicarakan masalah pengganti
beliau. Bahkan pembicaraan itu sempat mengarah ke perselisihan di antara kaum Anshar dan
Muhajirin. Dalam suasana demikian maka disepakati untuk dilaksanakan musyawarah
antara perwakilan dari kedua kaum tersebut. Sementara sebagian lainnya tetap
mengurus jenazah Rasulullah. Adapun hasil musyawarah akhirnya menetapkan Abu
Bakar sebagai khalifah/pengganti
Rasulullah.
•
Demi
menyempurnakan kewajiban.
Khilafah harus didirikan demi
menjamin kelancaran atau kesempurnaan dalam menunaikan kewajiban sebagai warga
negara. Misalnya dalam hal pemenuhan kewajiban sebagai umat beragama, menjaga
keamanan dan ketertiban, menjamin kesejahteraan bersama, menegakkan keadilan,
dan lain sebagainya. Semua urusan ini tidak bisa sepenuhnya dibebaskan untuk
diurus oleh perseorangan tetapi perlu ada pihak yang berwenang mengelolanya.
Sudah barang tentu hal ini atas mandat
dari rakyat.
•
Memenuhi
janji Allah.
Allah berjanji akan menjadikan
orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebagai penguasa di muka bumi.
Setelah sebelumnya mereka mengalami ketakutan, kegelisahan, dan penderitaan
akibat kezaliman. Tetapi mereka tetap berjuang menegakkan kebenaran dan
keadilan. Inilah yang memungkinkan terbukanya peluang untuk memenuhi janji
Allah yang akan menjadikan kita sebagai penguasa di muka bumi. Mengemban amanat
kekhilafahan atau pemerintahan demi kehidupan yang sejahtera, aman, sentausa
dan tetap dalam ketundukan terhadap Allah
semata.
Allah SWT. Berfirman dalam surah
An-nur, 55 yang artinya sebagai berikut
:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik. (QS. An-nur : 55)
HIKMAH KHILAFAH
Khilafah yang ditegakkan
dengan tujuan yang
jelas dan dasar-dasar
yang berpihak pada kepentingn dan
kesejahteraan bersama pada akhirnya akan membuat masyarakatnya hidup tenang,
nyaman, dan aman di satu pihak. Di pihak lain justru akan membuat Khilafah
semakin kuat dan stabil karena adanya kepercayaan dari masyarakat luas.
Upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah dengan disertai
pemenuhan aspirasi rakyat dapat melahirkan kesadaran bersama untuk mencapai
persatuan dan kesatuan dengan tetap menjaga keragaman, baik suku, agama, dan ras, sebagai anugerah Allah.
KHALIFAH
Pengertian Khalifah
Khalifah berarti pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai kepala
negara dan pimpinan agama. Dalam sejarah
kita mengenal para
pengganti kepemimpinan Rasulullah pada masa periode awal yang
terkenal dengan sebutan Khulafa’ al-Rasyidin (para pemimpin yang bijaksana).
Mereka adalah Abu Bakar As-shidiq, Umar bin Khatab, Usman
bin Afan, dan Ali bin Abi Thalib.
Mereka adalah para Khalifah generasi pertama setelah kepemimpinan Rasulullah
SAW. yang menggantikan Nabi sebagai kepala pemerintahan dan pimpinan agama
tetapi tidak menggantikan Muhammad SAW sebagai nabi karena posisi kenabian
tidak dapat diganti oleh siapapun dan Muhammad SAW adalah Nabi yang terakhir
dari sekalian para Nabi.
“Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab:40)
Jabatan khalifah berikutnya setelah Abu Bakar, Umar, Usman,
dan Ali dipangku oleh para pemuka dari Bani Umayyah seperti khalifah Mu’awiyah
bin Abi Sofyan, Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain. Pada masa Abbasiyah
diantaranya yang paling terkenal adalah pemerintahan di bawah kekhalifahan
Harun Al Rasyid dan lain-lain.
SYARAT-SYARAT
KHALIFAH
Untuk menjadi khalifah, seseorang harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
•
Berpengetahuan
luas.
Seorang khalifah harus memiliki
pengetahuan luas dalam arti yang sebenarnya. Tidak cukup hanya memiliki latar
belakang pendidikan akademik tinggi, karena ia akan melaksanakan atau
menerapkan hukum Allah dan berbagai peraturan-Nya terhadap kaum Muslim dan Non
Muslim atau terhadap masyarakat yang majmuk latar belakang sosial, budaya, dan agamanya.
•
Adil
dalam arti luas.
Seorang khalifah mampu
menjalankan segala kewajiban dan menjauhi larangan serta menjaga kehormatan
dirinya. Khalifah juga wajib mengawasi segala hukum dan peraturan yang
dijalankan oleh para wakil dan
bawahannya
•
Kompeten
(Kifayah)
Seorang khalifah harus memiliki
kompetensi berupa tanggung jawab, teguh, kuat, dan cakap menjalankan
pemerintahan, memajukan negara, dan agama. Sanggup menjaga keamanan semuanya
dari ancaman musuh.
•
Sehat
jasmani-rohani.
Seorang khalifah harus memiliki
pancaindera dan anggota tubuh lainnya yang bebas dari gangguan yang bisa
mengurangi kemampuan berpikir dan kekuatan jasmani atau tenaganya.
Adapun sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa para imam itu
dari bangsa Quraisy atau urusan khalifah itu adalah hak bangsa Quraisy
ditafsirkan oleh para ulama sebagai hal yang masuk akal setelah memperhatikan
karakter bangsa Quraisy yang pemberani, kuat, teguh pendirian, rasa persatuan
yang kuat, dan cakap menjalankan pemerintahan. Jadi yang dijadikan syarat oleh
Rasulullah sebetulnya bukan semata-mata karena sukunya tetapi lebih kepada
keutamaan sifat-sifatnya tersebut. Demikian seperti yang dijelaskan Sulaiman
Rasjid terkait syarat kompetensi bagi seorang khalifah, dari buku sejarah
Itmamul-Wafa karangan Muhammad Al-Hudari dan dari kitab Mukaddimah karya Ibnu
Khaldun.
Sedangkan
terkait syarat harus
berpengetahuan luas dan
kesehatan dapat dilihat dalam
firman Allah sebagai berikut :
“Nabi mereka
mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih
berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi
kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah
memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa.”
Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha
Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:247)
CARA PENGANGKATAN
KHALIFAH
Berdasarkan catatan sejarah Khulafah al-Rasyidin, terdapat
beberapa contoh pengangkatan khalifah yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
•
Dipilih
langsung oleh umat Islam,
Misalnya pada
saat pemilihan khalifah pertama,
yakni khalifah Abu
Bakar Shidiq di balai sidang Bani Sa’idah. Pertemuan itu mula-mula
diadakan oleh kaum Anshar, baru kemudian dihadiri tiga tokoh utama yang
mewakili kaum Muhajirin yaitu Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khatab, dan Abu Ubaidah.
•
Diusulkan
oleh khalifah yang sedang menjabat,
Misalnya pengangkatan khalifah
kedua, yakni khalifah Umar bin Khatab yang diusulkan oleh Abu Bakar Shidiq.
Meskipun sebenarnya Abu Bakar telah sering bermusyawarah dengan para sahabat
lainnya mengenai langkahnya itu. Di
antaranya dengan Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Thulhah bin
Ubaidillah, Selanjutnya atas usul Thulhah, Abu Bakar mengundang orang banyak
untuk dimintai pendapatnya dan ternyata mereka menjawab dengan serentak,
“Sami’na wa atha’na” (kami dengar dan
kami patuhi) yang maksudnya sebagai pernyataan dukungan terhadap langkah yang
dilakukan Abu Bakar.
•
Dipilih
melalui perwakilan (Ahlul Halli Wai
‘aqdi).
Misalnya pemilihan khalifah Usman
bin Affan dari antara enam orang yang sebelumnya dipersilahkan Umar bin Khatab
untuk membicarakan masalah
pmilihan calon penggantinya. Enam orang tersebut adalah : Ali Bin Abi
Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman
bin Auf, dan Thulhah bin Ubaidillah. Di antara enam tokoh ini akhirnya tersisa
dua yaitu Ali bin Abi Thalib dan
Utsman bin Affan karena yang lainnya mengundurkan diri. Selanjutnya mereka
menunjuk Abdurrahman bin Auf untuk memimpin jalannya pemilihan dan memberinya
tempo guna melakukan pertimbangan sebaik-baiknya. Saat inilah Abdurrahman bin
Auf meminta lagi pendapat kepada lebih banyak tokoh dan penduduk Madinah. Pada akhirnya pilihan jatuh terhadap Utsman
bin Affan.
•
Dipilih
oleh perwakilan sebagian besar umat
Islam,
Misalnya terjadi pada saat
pemilihan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.
Ali bin Abi Thalib dipilih
sebagai khalifah menggantikan Utsman bin Affan oleh penduduk ibukota Madinah,
didukung oleh tiga pasukan dari Mesir, Basrah, dan Kufah. Tetapi di tengah
perjalanan, sebagian pasukan dari mesir tidak jadi melanjutkan perjalanan
menuju Madinah. Sedangkan pasukan Basrah dan Kufah tetap terus melaju ke tempat
pembaiatan Ali bin Abi Thalib. Dalam pasukan Basrah dan Kufah terdapat kalangan
sahabat Nabi, baik dari kaum Muhajirin maupun Anshar. Mereka turut mengangkat baiat
terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib meskipun acara baiat yang dilakukan
penduduk Madinah telah selesai.
Keempat sifat pemilihan dan pengangkatan khalifah itu
menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai aspirasi dan kehendak rakyat.
Berbagai ragam aspirasi rakyat harus dipertimbangan dengan matang melalui jalan
musyawarah untuk menemukan mufakat agar keputusan yang diambil relatif dapat
memuaskan semua pihak.
Di Indonesia sifat pengangkatan pemimpin (presiden) pernah
dilakukan dalam 2 bentuk yaitu:
•
Pemilihan
tidak langsung; yakni pemilihan melalui perwakilan Ahlul Halli Wal’aqdi
(DPR/MPR) yang berhak menentukan dan memutuskan segala hal yang menyangkut
kehidupan rakyat, termasuk umat Islam.
•
Pemilihan
secara langsung; yakni suatu pemilihan yang dilakukan langsung oleh seluruh
rakyat.
Setiap
warga negara dan warga masyarakat berhak memilih langsung dan memberikan
dukungannya sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Pemilihan langsung ini
pertama kali dilakukan pada tahun 2004 setelah berpuluh-puluh tahun lamanya
dilakukan melalui lembaga perwakilan sejak 18 Agustus 1945. Yakni pemilihan
Soekarno menjadi Presiden pertama Indonesia melalui musyawarah Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Kedua bentuk pemilihan tersebut relatif bersesuaian dengan
bentuk pemilihan khalifah seperti contoh dalam sejarah pemilihan pada masa
Khulafa al-Rasyidin. Setidaknya dari segi sifatnya yang langsung dan tak langsung
SIGAH MUBAYA’AH
(KALIMAT BAIAT ATAU PENGANGKATAN KHALIFAH)
Setelah terpilih seorang pemimpin, baik melalui pemilihan
langsung maupun tak langsung atau melalui lembaga perwakilan, selanjutnya ia
dilantik atau dibaiat dengan misalnya mengucapkan kalimat sebagai berikut :
“Kami angkat engkau menjadi khalifah untuk menjalankan agama Allah dan
Rasul-Nya, dan kami akan taat kepada perintahmu selama engkau menjalankan
perintah Allah dan Rasul-Nya”
Kalau mengutip kalimat baiat atau sumpah janji yang biasa
diucapkan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia adalah sebagai berikut :
•
Sumpah Presiden : “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik
Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya
dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
•
Janji Presiden : “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden
Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar
dan menjalankan segala
undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti
kepada Nusa dan Bangsa.
Komentar
Posting Komentar